Selamat Datang di Blog Kampung Nelayan

HIMAPIKANI MENOLAK KENAIKAN BBM oleh INDAR WIJAYA SEKJEN HIMAPIKANI



HIMAPIKANI MENOLAK KENAIKAN BBM

            Dampak kebijakan kenaikan BBM memberikan imbas kenaikan harga kebutuhan pokok, tingginya biaya transportasi dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja membuat kaum miskin semakin terhimpit dalam memenuhi kebutuhannya. BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang berupa Kartu Perlindungan Sosial (KPS) seakan menjadi obat pelipur lara bagi rakyat miskin makin membuat mereka tidak mandiri dalam pendapatan. Efektifkah pemberian uang senilai Rp 300.000 dengan berbagai kenaikan kebutuhan hidup? Entahlah. Kemiskinan merupakan masalah serius yang menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai imbas dari tidak tepat sasaran kebijakan pemerintah. 

Ketika situasi krisis ekonomi merambah ke berbagai wilayah dan harga solar naik, masyarakat di daerah pesisir yang terancam kolaps karena tidak kuat menanggung tekanan kebutuhan hidup dan kenaikan biaya produksi. Keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Menurut Khudori (2009), faktor yang menjadi penyebab meluasnya tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat nelayan adalah karena kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah dalam membangun sub-sektor perikanan. Seperti halnya kebijakan kenaikan harga BBM. Nelayan yang hampir sebagian besar termasuk masyarakat miskin Indonesia paling merasakan dampak kenaikan solar bersubsidi. Yang awalnya dikisaran harga Rp 4.500/liter kini akibat dampak penyesuaian harga BBM menjadi Rp 5.500/liter. BBM (bahan bakar minyak) sebagai biaya operasional terbesar dalam kegiatan melaut menjadikan beban tersendiri bagi mereka. Pemerintah seakan memukul rata kebijakan penyesuaian harga BBM. Tak lagi memperhatikan nelayan yang sangat terbebani dalam kenaikan BBM. Permasalahan distribusi BBM untuk nelayan di berbagai pelosok daerah sering kali ditemui tidak terpenuhi baik secara kuota dan keterbatasan jumlah SPDN (solar paket dealer nelayan) maupun keberadaan SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan).
Pasca diberlakukannya kebijakan kenaikan harga BBM, nelayan tradisional adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita karena perubahan situasi sosial-ekonomi yang terkesan tiba-tiba, namun berkepanjangan. Nelayan tradisional kian terhimpit nasibnya karena hanya mampu mengandalkan perahu tradisional dan alat tangkap sederhana untuk bertahan hidup yang jelas tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan modern yang didukung perangkat yang serba canggih dan kapal besar yang memiliki daya jangkau yang jauh lebih luas. Untuk mememnuhi kebutuhannya mereka tidak akan pernah terlepas dari jeratan hutang. Keterbatasan kemampuan nelayan-nelayan tradisional dalam berbagai aspek, khususnya penguasaan alat tangkap yang serba terbatas adalah hambatanpotensial bagi mereka untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengatasi kemiskinan yangmembelit mereka selama ini (Kusnadi 2003:98). Dalam banyak kasus, nelayan tradisional yang miskin umumnya lebih memilih menerima nasib dan berusaha beradaptasi dengan kondisi kemiskinan yang membelenggunya daripada berusaha menyiasatinya.
Dampak kenaikan harga BBM membuat banyak keluarga nelayan miskin yang kehidupannya makin rapuh, karena usaha yang ditekuni tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Imbas kenaikan harga BBM menyebabkan pendidikan anak mereka terganggu dan membuat keluarga nelayan miskin itu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menyebabkan usaha yang ditekuni mengalami kemunduran dan ujung-ujungnya menyebabkan utang yang ditanggung meningkat. Bagi nelayan miskin, ketika harga BBM naik yang kemudian diikuti dengan meningkatnya biaya produksi untuk operasional melaut, ternyata di saat yang sama justru berbanding terbalik dengan keuntungan yang diperoleh.

Tidak ada komentar:

KARYA POPULER